TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA – Ketua Asprov PSSI DIY, Ahmad Syauqi Soeratno ditetapkan menjadi salah satu bakal calon Wakil Ketua Umum (Waketum) PSSI dalam Kongres Luar Biasa (KLB) yang akan digelar pada pertengahan Februari 2023 mendatang.
Syauqi akan bersaing nama-nama lain diantaranya; Ahmad Riyadh, Andre Rosiade, Doni Setiabudi, Duddy S. Sutandi, Fary Djemy Francis, Gede Widiade, Hasani Abdulgani, Hasnuryadi Sulaeman, Juni Rachman, Maya Damayanti, Ratu Tisha Destria, Sadikin Aksa, Yesayas Oktavianus, Yunus Nusi, hingga Zainudin Amali.
Dari sejumlah nama itu nantinya akan dipilih untuk mendampingi calon Ketua Umum (Ketum) yang saat ini telah ditetapkan lima orang, AA La Nyalla Mahmud Mattaliti, Arif Putra Wicaksono, Doni Setiabudi, Erick Thohir, dan Fary Djemy Francis.
Syauqi terbilang menjadi salah satu calon kuat untuk duduk di kursi Waketum PSSI. Salah satu alasannya ia sudah aktif di sepak bola Indonesia sejak lama. Ia pernah berperan sebagai General Manager (GM) PSIM Yogyakarta, Deputi Sekjen PSSI, hingga CEO Badan Liga Sepak Bola Amatir Indonesia (BLAI).
Lantas apa yang membuat Syauqi terdorong untuk maju sebagai calon Waketum PSSI periode 2023-2027 mendatang? Kemudian bagaimana rekam jejak pria yang aktif sebagai kader Muhammadiyah ini?
Tribun Jogja berkesempatan mewawancarai Syauqi, Senin (6/2/2023) mengenai pandangannya seputar KLB serta upayanya untuk ambil bagian dalam pembinaan sepak bola.
1. Bagaimana cerita awal mula Anda terjun ke sepak bola?
Dulu saya sempat ikut di klub PS HW sejak SD, belum ada SSB waktu itu, nama itu belum populer, kemudian satu saat saya dimasukkan daftar Piala Soeratin di klub PSIM, tapi satu lain hal saya diminta fokus ke sekolah, itu di tahun 80an. Saya berhenti di sana, di level youth.
Kemudian 2005 saya dipanggil pak Wali Kota diminta mengelola PSIM di Divisi Utama, di sana jadi General Manager. Tapi kalau jadi fans setelah saya selesai main bola, saya sudah jadi fans sepak bola.
Kalau dulu waktu muda, sudah senang sepak bola, semakin tua lebih berpikir, cari manfaat. Kemudian saat ini kita berpikir bahwa sepak bola ini sangat berpengaruh untuk membawa kepentingan yang luas bagi bangsa.
Waktu itu sepak bola soal perjuangan, bagaimana indonesia eksis, melawan hegemoni Belanda, sekarang ada tapi bukan untuk melawan itu, tapi dasarnya sama untuk bangsa. Nah mengisi itu membentuk kesatuan persatuan, membangun karakter.
2. Sempat di PSIM, kemudian di BLAI, lalu menjabat Ketum Aspov DIY, nah bagaimana ceritanya bisa datang ke PSSI DIY, kabarnya waktu itu datang di last minutes?
Keterlibatan saya di sepak bola memang sejak jadi GM PSIM, kemudian setelah itu mungkin saya diketahui punya potensi oleh pusat. Saya diundang ditanya bisa berkontribusi apa untuk nasional.
Waktu itu saya ditantang, PSIM yang dibilangin klub kampung itu, yang eks perserikatan itu bisa mendapatkan skor tertinggi di bidang Administrasi dan Personalia (Manajemen Klub) di antara 32 Klub Profesional yg berlaga di Divisi Utama (sebelum ada ISL), jelang penerapan Indonesia Super League/ISL sebagai liga tertinggi di musim berikutnya. Dari sana kita diapresiasi oleh AFC bahkan diminta untuk bertugas di sana.
Kemudian masuk 2019 PSSI DIY dibekukan, itu dihubungi teman saya di Yogyakarta, kalau tidak ada calon waktu itu, KLB tidak akan jalan, karena memang ketika itu masih belum ada yang mau jadi ketua, lalu setelah baru saya bersedia.
Buat saya Ini upaya penyelamatan, daripada sepak bola DIY tidak bergerak, tapi waktu itu saya bilang kalau ada yang lain silakan. Kemudian dari situ kita langsung siapkan Pra PON kompetisi dan lain lain.
3. Pembinaan pemain muda di DIY bagaiamana di era Syauqi?
Di Indonesia itu DIY, ada dua kaki pembinaan, ada klub based, ada regional based, kalau regional based itu yang kita kenal sekarang ada SSB Askab, Askot.
Sebelum DIY dibekukan saya sempat baca ada dua turnamen, ada Soeratin U17 dalinnya, itu untuk regional based development. Nah ada juga Elite Pro Academy nah ini mestinya ada muaranya, di DIY logika ini belum sempurna waktu itu.
Klub itu justru rekrut pemain, ambil pemain, bukan membina. Intinya gini, di Indonesia ada regional based development, ada banyak kabupaten kota, semuanya jalan pembinaan sepak bolanya, ini kan banyak bibitnya.
Di DIY alhamdulillah kita punya tim Liga 1 dan Liga 2, untuk itu klub Liga 3 DIY saat ini wajib memiliki pembinaan di perkumpulan, klub di bawah askab askot, dan wajib punya SSB, supaya tangganya nyambung. Itu tidak muncul di aturan PSSI, tapi di Asprov ada.
Kalau klub itu kan orientasinya bisnis, jadi biasanya mereka tidak akan masuk ke U15 atau U13.
4. Timnas beberapa waktu lalu kencang unggulkan naturalisasi, di satu sisi ada yang oke, main di Eropa. Lantas apa belum cukup pemain lokal itu memenuhi timnas?
Timnas itu punya target, untuk World Cup U20 itu pelatih pasti punya ukuran, dia lihat data mungkin butuh untuk isi ruang ini untuk masuk kompetisi level dunia.
Mungkin pelatih lihat Indonesia belum sampai level itu, jadi tergantung penentuan keputusannya di sana. Kalau saya itu ya darurat tapi tidak boleh berlanjut, faktanya kita punya pemain muda.
Tentu harus ada effort dari Asprov juga, aktif dengan pembinaan pemain muda agar kaki regional based ini kuat. Di sisi lain pembinaan di klub juga kurang kuat, akhirnya cuma rekrutmen lagi.
Harus ada manajemen data yang mumpuni. Database pemain harus kuat, PSSI waktu itu sudah ada 2006,
5. Anda mengajukan diri sebagai Waketum dan Exco, kira-kira apa yang akan anda unggulkan jika terpilih?
Wakteum itu suport ketum, persoalannya pemilihan ini bukan grup recruit. Harapan saya lima calon itu memaparkan, bila perlu liam orang itu memaparkan visi misi, cawaketum dan caexco mendengarkan, jadi kita bisa pilih, karena kita juga punya visi, tapi ini harus satu team work.
Saya sendiri punya poin of consern, untuk DIY sudah clear, untuk daerah lain harus disesuaikan, karena setiap daerah tidak selalu punya klub profesional, ada adopsinya. Ada youth development, development officer, kemudian yang punya keahlian sektoral khusus seperti safety and security bagaimana.
Terutama pembinaan pemain muda, harus bertahap prosesnya. Kalau ada dari luar semisal punya garis keturunan harus selaras dengan pembinaan kita. Kompetisi kita harus terukur dan terencana.
Saya paham setelah Tragedi Kanjuruhan, begitu banyak perubahan situasi dan semuanya. Saya punya rekomendasi kalau federasi mau undang kita ngobrol, tapi saat ini sudah diputuskan kompetisi tidak ada degradasi promosi.
Saya juga tidak tahu bagaimana nasib klub Indonesia di Champion Asia kalau tidak ada degradasi. Menurut saya ini situasi, case itu bukan berbasis SOP.
Kalau sepak bola ingin sustain itu industrinya harus kuat, kemandirian industri harus terjaga, pastikan akuntabel dan mandiri. Kita hindari match fixing dari ada commercial fixing.
6. Kira-kira apa sih yang bisa dijual dari sepak bola modern, selain banyak suporter di stadion, pemain yang populer?
Sepak bola itu susah mendapat kepercayaan. Coba hitung prestasi timnas, sejak 2010 lebih banyak prestasi apa kongres? Makanya kalau saya dengar ada anak muda yang terjun ke sepak bola dan dia adalah pebisnis lalu kecewa.
Di bisnis saya juga sadar ada yang tidak boleh terlampaui, kalau itu terlampaui akan tidak dipercaya. Untuk itu saat ini pastikan kita ini bisa dipercaya dulu, lewat komunikasi, aktivitas, pengambilan keputusan, orang sudah benar saja dengan kepentingan masing-masing bisa tidak dipercaya karena kepentingan klub.
Sepak bola Indonesia itu besar secara bisnis, dari broadcast atau penjualan segala macam. Saya berharap pro league ini terukur, rekam jejak komersialnya harus seperti apa, biar sehat, bedakan duitnya owner dan klub
Ada baiknya liga ini jalan fair dan sehat, bisa diukur klub ini tidak akan ambil pemain ini itu karena tidak cukup, nah ini harus ada alat ukurnya.
Artikel ini telah tayang di TribunJogja.com dengan judul Ketua Asprov PSSI DIY Ahmad Syauqi Soeratno Beberkan Soal Dorongan Mencalonkan Diri sebagai Waketum, https://jogja.tribunnews.com/2023/02/06/ketua-asprov-pssi-diy-ahmad-syauqi-soeratno-beberkan-soal-dorongan-mencalonkan-diri-sebagai-waketum?page=all.
Penulis: Taufiq Syarifudin | Editor: Kurniatul Hidayah